Posted on June 29th, 2012
“He’s one of my best employees. He always puts in ten-hour days, sometimes much more.” Is this how your boss judges you and your colleagues?
SEBUAH studi yang dilakukan oleh sekelompok peneliti dibawah pimpinan Prof. Kimberly Elsbach, di tahun 2010, yang mewawancarai managers dari 39 perusahaan, ditemukan bahwa karyawan yang meluangkan waktu lebih banyak di kantor, dinilai oleh managers-nya sebagai karyawan berdedikasi tinggi, pekerja keras dan lebih bertanggung-jawab.
Malam telah larut, namun dari jalan raya masih terlihat lampu di banyak kantor masih terang benderang di berbagai lantai. Ini pertanda masih banyak karyawannya yang bekerja. Jam 20:00? Itu normal. Jam 21:00 masih juga biasa. Jam 22:00, ini sudah 14 jam sejak mulai bekerja jam 08:00!
Alasan bekerja sampai larut
Berbincang dengan karyawan yang rajin lembur, ada beragam alasan. Menurut orang Marketing, pagi hari mereka gunakan untuk bertemu client atau agency. Karena itu, pekerjaan di kantor baru bisa dipegang sore dan malam hari. Ada juga yang menganggap sudah biasa karena terbenam dalam berbagai laporan yang harus segera diselesaikan (menurut dia). Yang lainnya sengaja menunggu untuk tidak terjebak macet. Namun begitu pekerjaan ditangani, tanggung untuk ditinggal begitu saja.
Paksaan boss
Ada seorang teman, wanita yang berkisah tentang kebiasaan bosnya yaitu bekerja sampai larut, dan biasa pulang jam 21:00. Terkadang lebih lama dari itu. Dan boss itu akan menilai tinggi bawahannya yang juga bekerja selama itu. Katanya itu adalah contoh karyawan yang rajin dan pekerja keras.
Tapi celakanya lagi, karyawan lain punya keluarga dan urusan lain yang perlu mendapat perhatian, sementara boss ini masih lajang. Sampai kejadian di mana teman ini sudah menurun kondisi fisiknya karena bekerja lembur, masih diminta untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam dua tiga hari ini, yang menurut perhitungan di atas kertas, hanya bisa diselesaikan dengan terus lembur sampai jam 22:00 atau 23:00.
Dari curhat staf
Dari file #CurhatSTAFF ditemukan juga curahan hati karyawan seperti contoh di bawah ini:
Satpam boleh matikan lampu jam 20:00
Gejalah kerja lembur terjadi di banyak tempat. Ada yang merasa terpaksa, ada yang enjoy. Di perusahaan sebelumnya, kami pun berdiskusi tentang bagaimana mengurangi jam kerja lembur agar bisa segera bergabung dengan keluarga, bisa olah raga atau hang-out.
Berbagai himbauan dilakukan, tapi dampaknya tidak banyak terlihat. Akhirnya kami putuskan untuk mengeluarkan peraturan, bahwa tanpa izin khusus karyawan hanya boleh berada di lokasi kerja sampai dengan jam 20:00 dan SATPAM diberikan kewenangan penuh untuk mematikan lampu di semua lantai, pada jam 20:00.
Ternyata sangat efektif. Namun yang lucu juga muncul, ada yang mencoba membawa emergency lamp untuk meneruskan bekerja… entah apa maunya !!
Jadual kerja siang hari
Menurut survey tersebut di atas, ada beberapa hal yang sebetulnya bisa dikurangi untuk memaksimalkan kerja siang sehingga tidak perlu lembur, antara lain: optimalkan penggunaan planner; review kembali kehadiran di berbagai meeting; meeting dilaksanakan secara efektif; delegasikan pekerjaan kepada bawahan.
Dan tidak kalah pentingnya, dari perspektif atasan: hindari memberikan penilaian sangat tinggi kepada karyawan hanya karena dia sering lembur atau bekerja hingga larut. Banyak karyawan yang smart, yang juga pandai mengatur waktunya dan terus sukses.
“I’ve learned that you can’t have everything and do everything at the same time.” – Oprah Winfrey
josef:
Semangat pagi Santi, terima kasih untuk terus menyimak tulisan di blog ini. Semoga bermanfaat, terutama dalam...
Santi Sumiyati:
Selamat pagi Pak Josef. Membaca tulisan Bapak seperti “me-recharge daya” pikiran dan...
josef:
Terima kasih Reinaldo. Saran sederhana sudah dicantumkan dalam komenmu: leader yang mau paham situasi, minta...
Vicario Reinaldo:
Terima kasih untuk sharingnya Pak Josef. Resonate sekali dengan saya yang sering membantu para...
josef:
Terima kasih catatannya mas Anton, setuju harus pandai membawa diri, dalam membangun trust dan respect dari...
Setuju…sepertinya perusahaan perlu mengingatkan kembali tentang maksimal jam lembur yang dianjurkan oleh pemerintah dan biaya yg harus dikeluarkan perusahaan untuk lembur. Dan juga terlebih lagi,karena panjangnya waktu kerja tidak mencermikan produktivitas kerja.. 🙂
Terima kasih Erlina. Analisa produktivitas mestinya bisa dilakukan, tapi juga berlebihan kalau atasan terus menerus meminta karyawan untuk bekerja sampai larut.. Semoga di tempatmu tidak terjadi seperti ini.. Salam
setuju pak, memang terus lembur tidak selalu ada kaitanya dengan loyalitas dan kerja keras
seringkali timbul karena kerja siang hari terinterupsi oleh ganguan yang muncul dari sekitar kita atau kesulitan dalam mengatur waktu
seharusnya ada pelatihan khusus tentang time management dan work management untuk semua staf, tidak hanya jadi materi tambahan dalam pelatihan supervisory
bisa sharing pak tentang apakah ada pengaruh pengunaan ruang kerja terbuka korelasinya dengan meningkatnya ganguan terhadap kerja karyawan, karena di tempat saya mengunakan sistem ruang kerja terbuka, hasilnya ganguan kerja yang dikeluhkan karyawan makin tinggi
thanks untuk jawabanya pak
Terima kasih Gilang. Banyak perkantoran yg sudah atau sedang menuju ruang kerja terbuka. dan mereka bisa mengatasi keluhan gangguan. Tentang pengaruh ruang kerja terbuka, lihat posting saya sebelumnya yang berjudul “Ruang kerja terbuka”. barangkali ada kemiripan keluhan2 swperti itu. Point yang mau saya angkat di cerita ini: ada saja boss yang memberikan nilai lebih tinggi bagi mereka yang bisa kerja sampai larut. Itu yang belum tentu benar karena banyak juga karyawan yang pandai mengatur waktu dan terus berprestasi tanpa harus sering2 kerja sampai larut. Salam
Thank you pak.. This is a very nice info.
Saya setuju dengan karyawan2x yang tidak perlu bekerja hingga larut malam untuk membuktikan atasan bahwa ia adalah karyawan yang baik. Bekerja dengan waktu yang sudah di tetapkan dan meng-efektif kan peluang waktu kerja tersebut adalah sesuatu yang perlu diperhatikan sebagai karyawan. Selain lebih disiplin, juga dapat memberikan waktu yang lebih banyak untuk aktifitas lainnya seperti waktu untuk keluarga, sosialisasi (networking), dan olahraga terutama. Sebagai karyawan, bekerja dengan maksimal dalam waktu yang di berikan itu lebih baik daripada lembur yang ga jelas. Tetapi lembur juga diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan agar ke-esokan harinya dapat memulai tugas lainnya.
Sekian dari saya. Terima kasih, have a good day
terima kasih Sam. Kisah ini perlu dilihat dari dua sudut: perspektif karyawan yang perlu menyelesaikan tugasnya, tapi juga ada kehidpan lain di luar kerja yang menjadi tangung jawab dia. sementara itu dari sudut pimpinan: tugas yang dialokasikan kepada bawahannya adalah dalam koridor kapasitas dia selama waktu yang tersedia. Kerja melebihi jam kerja normal sewaktu2 diperlukan, tetapi tidak sering2. Dan yang terpenting, dan ini yang mau saya angkat dalam kisah ini: atasan jangan menilai karyawan hanya dari jumlah jam kerjanya tapi dari hasilnya. karena ada yang bisa memberikan hasil maksimal dalam jam kerja normal saja, tanpa sering2 lembur. Sekali lagi terima kasih
Saya setuju, bahwa kinerja tidak selalu diukur dengan berapa lama dia bekerja, tapi kualitas dari hasil yang dikerjakan yang lebih penting. Ada juga atasan yang dia datang lebih siang tapi “expect” karyawannya pulang lebih malam dikarenakan keterlambatannya datang (baru memberi kerjaan di sore hari menjelang pulang). Selain itu dengan durasi bekerja yang lebih lama di kantor, pada awalnya produktivitas akan meningkat hingga pada suatu titik justru semakin lama seseorang bekerja produktifitas malah akan menurun. Karena karyawan bukanlah robot (bahkan robot juga bisa rusak apalagi manusia). Justru perusahaan harus mendukung kehidupan yang balanced bagi karyawan. Misalnya setelah after office bagi karyawan dapat/dianjurkan melakukan aktivitas olahraga atau kesenian yang bisa untuk mengurangi stress atau “mengisi baterenya kembali”. Dengan kehidupan yang balanced (pikiran jernih/tidak stress, badan sehat tidak harus lembur trus) dalam jangka panjang akan menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang lembur setiap saat.
Terkadang ada juga yang lembur hanya demi dinilai/terlihat bagus/bekerja keras, atau ketika di waktu jam kerja banyak hal-hal yang tidak efektif yang dilakukan misal (merokok di jam kerja, bergosip, meeting yang tidak efisien, tidak bisa mengatur prioritas pekerjaan, dll).
“You will never find time for anything. If you want time you must make it.” – Charles Buxton
Terima kasih Octavianus untuk tambahan ulasan dengan mengangkat kejadian sehari2. Bila ada kejadian seperti itu, siapa yang mau mulai mengambil langkah untuk perbaikan ? Kita tentu tidak ingin saling menunggu. Bisa dimulai dari diri sendiri dan mengajak timnya untuk mencari jalan perbaikan. Issue balanced life akhir2 ini menjadi hot topic, dan banyak yang berjuang untuk mendapatkannya. Terima kasih sekali lagi. Salam
Sesuai jadwal lembur menurut kebutuhan. Selain faktor fisik, kondisi psikis dapat mempercepat terjadinya kelelahan. Karyawan di lingkungan kerja dengan kondisi penuh tekanan boleh jadi akan mempengaruhi karakter dan kapasitas sosialnya. Tapi, seorang enterpreneur sering menghitung waktu sehari lebih dari 24 jam. Nah.. soal fatique memang selalu mengundang perdebatan. Lebih baik disesuaikan dengan urgensi kebutuhannya.
Terima kasih Toto, sesuai kebutuhan, pertimbangkan faktor fisik dan psikis, itu merupakan kata2 kunci yang perlu dikedepankan kalau bicara tentang belerja sampai larut. Terima kasih telah mengunjungi blog ini dan menyimak isinya. Nantikan kisah2 baru yang akan muncul setiap Selasa dan Jumat pagi jam 08:00. salam
Salut Buat Bapak,
Hanya sekitar 10% manager di Indonesia mempunyai kemampuan untuk bisa me-manage waktu dengan baik (termasuk saya).
Itu terjadi karena banyak hal (tidak etis kalau saya sampaikan disini semuanya), salah satu contoh adalah pada saat si Manager akan diterima bekerja (kantor baru) atau seseorang yang menjadi Manager karena naik pangkat.
Di proses Interview itu, si manager baru akan menjalani speri Fit & Proper Test, dimana ini akan seperti Kampanye Partai Politik, yang isinya, saya akan, saya akan dan saya akan. salah satu yang ‘saya akan’ itu adalah membuat peraturan yang sebenarnya (si calon manager ini) dia tahu akan sulit, seperti menekan karyawan dengan segala tedeng aling2 yang ujung2nya sebenarnya untuk kepentingan dirinya sendiri atau Playing Safe.
Hanya saja, banyak Hak2 karyawan yang diabaikannya, apalagi kalau sudah bicara mengenai waktu, amazing sekali.
Banyak sekali hal yang bisa dikerjakan saat pagi hingga sore, simple saja, tinggal bicara management waktu kok. Kadang2 semua itu hanya dibuat-buat saja.
Tahun 2007, saya memiliki karyawan hampir 2000 orang, kami jarang sekali lembur, kalau pun ada itu sifatnya sangat amat jarang dan kaum laki-lakilah yang akan lembur.
Mohon maaf, jika kurang berkenan.
Terima Kasih.
Joey Setiawan
terima kasih Joey, tidak ada salahnya untk kita saling mengingatkan, dan terutama saling belajar satu sama lain. Blog ini tidak ada tendensi untuk ngajarin, tetapi lebih banyak bercerita tentang berbagai pengalaman, siapa tahu ada yang bisa memetik manfaat dari cerita itu. Salam
Pak Josef, nice article. Kebetulan saya bekerja di salah satu foreign company dimana regional interference cukup rutin saya temui. Kesulitan yang saya hadapi saat ini adalah ketika saya sudah menyusun daily planning dan working schedule namun most of the time ada certain works dari regional team maupun dari internal yang meng-override planning tersebut sehingga sering terjadi bahwa justru planning saya bisa terlaksana after office hour dan ini membuat saya sering lembur. Kiranya saya bisa memperoleh advice dari Pak Josef atas kendala yang saya hadapi saat ini.
Thanks n GBU
Khrisna
Terima kasih Khrisna. Planner memang dibuat untuk membantu, tapi juga bukan untuk mengikat kita secara kaku. Berdasarkan ceritamu: seberapa sering interference itu terjadi ? Apakah ada pattern dari permintaan mereka yang bisa membuat kita memahami pola pengajuan data yg mereka minta ? Apakah kita bisa menganalisa permintaan mereka untuk secara proaktif menyiapkan berbagai data, sehingga begitu diminta sudah siap ? Seandainya interference sangat sering dan sifatnya selalu urgent important, pasti ada yang perlu dibenahi dari pola kerja di lingkungan kalian. Mudah2an ini bisa membantu
Nice article, saya setuju kalau jam lembur jangan dijadikan ukuran untuk kinerja karyawan. Akan jauh lebih obyektif apabila kinerja seseorang dinilai dari pencapaian prestasi dalam bekerja tanpa melihat jam lembur.
Sepengetahuan saya, saat ini sudah banyak perusahaan yang menerapkan balance scorecard untuk menilai kinerja karyawan, dimana penilaian melalui bsc jauh lebih obyektif dibandingkan hanya melihat jam lembur.
Lembur itu boleh saja dilakukan tetapi jangan dijadikan rutinitas.
Menurut saya, aktivitas yang dilakukan pada saat jam lembur kurang efektif karena tubuh dan otak sudah mencapai titik lelah sehingga kurang berfungsi dengan maksimal.
Mohon maaf apabila ada kata2 yang kurang berkenan.
God bless you & fam.
Tony Sunaryo
Terima kasih Tony. Terkadang kita perlu waktu leih lama dari jam normal, tapi sebaiknya tiak menjadi hal rutin, seperi kata toni. Muah2 an para kepala bagian sadar untuk tdk mengukur prestasi anak buahnya dari seberapa sering dia lembur.
Saya termasuk karyawan yang anti lembur, hanya mau lembur apabila ada pekerjaan yang outstanding / luar biasa. Untuk pekerjaan rutin, saya hanya mau bekerja dalam jam kerja, karena takut gaji kebanyakan hehe. Bercanda. Alasannya, workload itu sudah seharusnya ditargetkan selesai dalam jam kerja. Kalau belum selesai, berarti: 1) ada yang salah, atau 2) ada masalah. Bisa dari sisi karyawan, atasan, kebijakan, atau dari pekerjaan itu sendiri. Di sisi lain, saya sebagai manusia biasa juga punya kehidupan di luar kantor. Untuk istirahat, ibadah, bersosialisasi, dll. Itu sudah hak dan fitrah.
Terima kasih Rani, pendirian yang bagus. Ulasan tentang mengapa lembur tidak seharusnya menjadi kebiasaan, juga pas sekali. Salam