Posted on March 22nd, 2019
“Competition is a by-product of productive work, not its goal. A creative man is motivated by the desire to achieve, not by the desire to beat others.” (Ayn Rand)
TARGET. Kata itu hadir dalam pembicaraan sepanjang tahun. Entah itu saat menyepakati target yang akan dicapai, atau dalam menyimak progress pencapaian target ataupun diujung perjalanan saat melakukan evaluasi. Bersamaan dengan itu kata yang sering menyertainya adalah kata-kata seperti: easy target, realistic target, beyond the limits, achievable target, dan lain-lain. Intinya adalah bersamaan dengan menentukan target, mindset kita dibentuk untuk percaya atau tidak akan pencapaian target tersebut. Dua kasus menarik berikut ini kami bahas Bersama peserta CHRP (Certified HR Professional) Program Batch 47. Berikut foto bersama.
Mengubah Impossible menjadi Possible
Dalam tulisan yang dibagi di LinkedIn, Justin Bariso menceritakan pengalaman Best Buy yang hampir gulung tikar di 2012, kalah bersaing dengan Amazon. Bertepatan dengan pergantian CEO, sebuah langkah penting yang diambil oleh CEO baru, Hubert Joly yang sungguh mengubah masa depan perusahaan itu. Dia masih percaya akan manusia yang terlibat dalam business itu, baik karyawannya maupun para pelanggannya. Karena itu dia meluangkan waktu pentingnya untuk berbicara dan mendengarkan karyawannya, dan juga para pelanggannya. Dia tidak segan-segan untuk meluangkan waktu di toko atau bahkan bekerja selama seminggu disana. Ada tiga insight penting yang dia dapatkan, dan ini yang dia terapkan:
2. Turn Weakness into Strength:
3. Don’t sell, build relationship
Hasilnya memang luar biasa. Employee engagement yang sangat rendah di masa lalu, berubah menjadi 78% karyawan merekomendasikan orang untuk bekerja di Best Buy. Perusahaanpun kembali dari posisi mendekati bangkrut ke posisi business yang bisa berkompetisi secara konfiden dengan Amazon dan retailer lainnya, dan tahun lalu mencapai hasil bisnis sangat bagus, di luar dugaan para investor.
Pada kesempatan sesi CHRP tersebut, saya juga memberikan penghargaan dan terima kasih kepada tiga peserta yang hadir paling awal, berupa buku.
Keengganan Mendengarkan Karyawan
Kontras dengan pengalaman di atas, dalam majalah Alumni INSEAD, Salamander (edisi 26 January 2016), Quy Huy, Professor of Strategy at INSEAD dan Timo Vuori, assistant professor in Strategic Management at Aalto University, Finland memaparkan kisah menarik dibalik kegagalan Nokia, dalam judul: Who Killed Nokia? Nokia Did. Yang membunuh Nokia adalah Nokia sendiri.
Dalam situasi serupa, dimana Nokia sudah mulai kalah dibanding competitor, pimpinan Nokia malah memperlihatkan perilaku yang kurang terpuji. Terciptalah budaya bersumber dari perilaku leader yang temperamental yang mengakibatkan middle managers ketakutan dan tidak berani berbicara jujur. Mereka terus memberikan masukan kepada atasan dengan data yang sudah difilter. Bahkan ada karyawan yang saat diminta untuk mempertanyakan keputusan atasannya, dia menjawab: “Tidak berani, takut dipecat atau turun pangkat, saya masih punya keluarga dan anak masih kecil”
Jadi Pimpinan membuat para middle manager takut untuk menyajikan data yang mengecewakan atasannya walau itu benar. Apalagi pimpinan terus mengintimidasi mereka bekerja extra keras, dan mencap middle manager tidak ambisius untuk mencapai stretched target.
Hasilnya, karyawan terpaksa hanya memberikan informasi yang difilter, informasi yang tidak benar, agar nyaman didengar atasan.
Sementara itu Rahul Gupta, Follow Associate Manager at NEC Technologies India Pvt Ltd. Berkesimpulan:
Kalau saja para leader mau menyiapkan prasarana yang memadai, memberikan training yang sepadan, serta membuka diri dan mendengarkan karyawannya, termasuk mendengarkan “brutal facts” maka karyawan akan berjuang tanpa merasa terbebani, bahkan untuk mencapai stretched target sekalipun.
Pentingnya Peran Leader
Dalam situasi kritis seperti kedua kasus diatas, seorang pimpinan akan memainkan peran yang sangat penting. Dia harus jeli melihat peluang, cermat memaksimalkan resources yang dipunyai, kalau perlu turun dan berada di tengah team, mampu memobilisasi semua potensi yang dimiliki untuk segera keluar dari situasi kritis. Teknologi saja tidak akan cukup. Disini manusia sangat diandalkan. Hubert Joly telah memberikan kita contoh, betapa dia menghargai peran manusia, entah itu karyawan atau pelanggannya untuk membantu perusahaan kembali hadir sejajar dengan key competitornya. Dalam situasi seperti itu, dia tentu akan mendorong karyawannya untuk “Go beyond their limit,” tapi itu dibarengi dengan melengkapi mereka dengan prasarana yang memadai serta training yang dibutuhkan. Disamping itu kemauan dan kemampuannya untuk mendengarkan suara karyawan dan pelanggan, telah terbukti menyelamatkan perusahaan.
“The only way to discover the limits of the possible is to go beyond them into the impossible.” (Anonymous)
josef:
Terima kasih tanggapan Kelana. Tidak mau membalas argumen juga merupakan pilihan. Namun kalau argumen...
kelana:
halo pak josef, bagaimana cara upgrade rasa PD, saya tidak ragu dengan kemampuan tapi terkadang tidak mau...
josef:
Terima kasih, kalau insight yg Rolin dapat juga dibagi ke teman2, akan bertambah kaya ilmu Rolin. Salm
Rolin:
Terimakasih selalu menginspirasi,Pak Josef. Seperti sumur, semakin dalam digali, semakin jernih airnya
josef:
Terima kasih mba Nurlita Magdalena, sudah sempatkan menyimak kisah di blog ini dan memberikan komennya. Sukses...