Posted on September 25th, 2015
“If I am walking with two other men, each of them will serve as my teacher. I will pick out the good points of the one and imitate them, and the bad points of the other and correct them in myself.” (Confucius)
MENGHADIRI BERBAGAI ACARA, buat saya dan istri merupakan ajang untuk belajar. Kami menyimak bagaimana mereka menyelenggarakan acara, penerimaan tamu, penyajian makanan/minuman, dekorasi, atau apa saja yang ada di depan mata. Kami sering diskusi tentang mana yang perlu ditiru atau perlu mendapat perhatian bila kita yang menyelenggarakan.
Waktu Tak Ternilai
Sering benar kita menggunakan istilah OTW di media sosial, yang artinya On the Way. Ketika kawan sedang ke bandara, di statusnya tertera OTW bandara. Ketika kita menanyakan posisi orang yang ditunggu kedatangannya, sering juga dijawab OTW.
Tapi di mana tepatnya orang yang memberikan response OTW? Masih jauhkan dari tempat tujuan, atau baru keluar rumah? Apakah makna pesan/response tersebut sesuai dengan aslinya?
Masih beruntung kita berada pada posisi menunggu di tempat yang memadai, misalnya di rumah, di restoran. Tapi ketika menunggu lama,dan yang ditunggu tidak kunjung tiba dan tidak memberi kabar, kita akan menghubungi untuk mengetahui posisinya. Response yang kita dapat adalah juga OTW. Tapi apakah dengan makna yang sama?
Dalam kamus gaul, OTW juga sering diplesetkan dengan: Oke Tunggu Wae (Oke Tunggu Saja). Yang memegang tata krama, akan berinisiatif memberikan kabar kalau dia terlambat, dengan alasan dan mungkin posisinya di mana, atau perkiraan berapa lama terlambatnya. Bila itu tidak dilakukan, dan ketika dihubungi masih menjawab singkat OTW, yang bersangkutan telah memberikan signal bahwa dia tidak peduli, silahkan tunggu saja.
Sikap seperti ini sangat meremehkan orang lain, entah itu saudara atau kawan dekat sekalipun. Yang menunggu tentu sangat antusias menemuimu. Mari kita menghargai mereka dengan datang tepat waktu, atau paling tidak memberitahu mereka, dengan permohonan maaf, bila terlambat.
Menghargai Sesama
Hari itu kami hadir 30 menit sebelum acara dimulai, acara kenalan: lamaran anaknya. Kami tidak ingin terlambat. Kami tiba di sana setelah 1.5 jam perjalanan menempuh lalu-lintas Sabtu yang macet.
Undangan sudah memenuhi semua kursi. Sejam telah berlalu, tidak ada tanda-tanda acara segera dimulai. Ketika ditanya, katanya yang mau melamar sedang OTW. Undangan mulai gelisah, apalagi terik matahari jam 11:00 sangat menyengat walau di bawah tenda. Beberapa candaan miring terdengar: “Saya sudah keliling kompleks ini, nggak ketemu satu pun pohon karet, tapi kenapa ya pada senang pake jam karet?
(Image: Pixabay.com)
Yang ditunggu akhirnya tiba, dan acara dimulai hampir dua jam dari jadual semula. Alasan Sabtu macet, apakah bisa diterima?
Perencanaan matang, memperhitungkan berbagai kemungkinan termasuk kemungkinan macet, biasanya merupakan bagian dari perencanaan sebuah acara penting. Orang-orang yang diundang itu tentu orang yang sepantasnya mendapat penghargaan dari keluarga yang punya acara.
Mereka telah meluangkan waktu tak ternilai mereka karena menghargai undangan ini. Mereka akan sangat berterima kasih, bila seluruh acara diselenggarakan sesuai jadual di undangan sehingga mereka juga bisa merancang hari mereka secara lebih efektif.
Pilihan di Tangan Kita
Apakah kita sendiri tidak pernah meleset dalam perencanaan event seperti itu? Kunci awalnya ada di perencanaan, dan eksekusinya pun tidak kalah pentingnya. Apakah itu event besar, atau event kecil; apakah itu di hotel, restoran kecil atau di rumah, prinsipnya sama.
Ketika merancang resepsi pernikahan kami sendiri puluhan tahun silam, kami (saya dan calon istri) memberanikan diri untuk mengajukan dua syarat kepada orang tua kedua belah pihak. Dua syarat berikut ini harus mengikuti kehendak kami, mereka boleh memberi saran:
Pertama: rangkaian acara termasuk pilihan gedung, makanan dan jumlah undangan (alasan yang utama adalah anggaran kami sangat terbatas)
Kedua: Jam 19:00 tepat, semua keluarga inti sudah di tempat, dan pengantin sudah siap di pelaminan, sehingga siapa yang sudah hadir bisa langsung salaman, makan sambil ngobrol dengan yang dikenal, dan mereka bisa pulang.
Hasilnya sangat diapresiasi yang diundang, tidak ada antrian panjang untuk salaman atau mengambil makan, dan ruang acara pun terasa leluasa, karena arus yang datang dan pergi terus mengalir.
Belajar dari Pengalaman
Usia terus bertambah. Sehari masih 24 jam, tapi jam yang sudah berlalu tidak bisa dihadirkan kembali. Namun demikian masih ada 24 jam berikutnya dan berikutnya lagi untuk kita melakukan koreksi, mengapresiasi waktu kita dan waktu orang lain, agar kualitas hidup ini menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Sampai kapankah kita belajar? Selama masih bernapas, alam menghadirkan pembelajaran di hadapan kita.
Akankah kita mengangkatnya menjadi butir-butir mutiara kehidupan yang bermakna, atau membiarkannya berlalu begitu saja? Pilihan sepenuhnya di tangan kita.
Dan, saya memilih menjadikannya butir mutiara kehidupan yang dijadikan pembelajaran untuk kami sendiri yang akan kami bagi juga kepada yang lain.
“We are the creative force of our life, and through our own decisions rather than our conditions, if we carefully learn to do certain things, we can accomplish those goals.” (Stephen Covey)
josef:
Terima kasih pa Panjaitan, telah berkunjung dan menyimak tulisan ini. Masih banyak lagi tulisan di blog ini...
Pan panjaitan:
Saya senang baca blog Bapak
josef:
Terima kasih sama-sama pa Lay Nehemya. Saya senang membersamai rekan-rekan HR yang mau belajar seperti timmu....
Lay Nehemya:
Terima kasih pak Joseph sudah menjadi inspirasi buat kami. Tim kami sangat berkesan dengan sharing...
josef:
Terima kasih Tromol. Persahabatan perlu terus dirawat, walau kita berjauhan. Pertemuan pendek bertiga saat itu...
Setuju sekali dengan artikel ini. Waktu tidak dapat diulang lagi dan waktu sangat berharga bagi siapa pun juga. Tepat waktu merupakan salah satu bentuk menghargai rekan dan kerabat.
Terima kasih Ratih, kita semua menganggap itu berharga, tapi kita juga sering abaikan. Perlu sekali untuk saling mengingatkan. Salam