Panggilan Seorang Pemimpin

Posted on October 4th, 2024

“The growth and development of people is the highest calling of leadership.” (Harvey S. Firestone)

GEMBIRA bila melihat perusahaan mempunyai Learning Center dengan berbagai fasilitas untuk menunjang proses pembelajaran. Lebih bersemangat lagi, kalau Perusahaan juga menginvestasikan dana untuk berbagai program pembelajaran agar karyawannya bisa terus tumbuh dan berkembang. Tentu saja digitalisasi di bidang Learning bukan lagi menjadi pilihan tapi keharusan. Ini demi efektivitas proses pembelajaran, tapi juga akan menarik minat para generasi muda. Berikut foto depan Learning Center CIMB Niaga, sebelum mengisi acara Learning Adventure 2024.

Leader yang Sukses

Belajar dari berbagai pemimpin sukses di dunia, saya mengutip laporan McKinsey 16/08/2024: ada satu kesamaan diantara mereka: They never stop learning.

Untuk menguatkan ini, Former Yum! Brands CEO David Novak mengakui bahwa dalam berbincang dengan beberapa winning companies mereka menemukan Mutiara penting yang juga mereka terapkan di perusahaannya:

 

  1. They create cultures where everyone counts.
  2. They are maniacally focused on customers.
  3. They differentiate their brands and drive competitive differentiation in everything that they do.
  4. They have consistent people and processes.
  5. They have a consistent “beat a year ago” mentality.

Menarik bahwa konsep tersebut sedikit banyaknya menggambarkan Corporate Values (EPICC)

Dalam mempersiapkan talent untuk bisa menjadi Future Leader, ada peserta yang menanyakan bagaimana strategi untuk membangun future ready organization:

  • Talent Strategy berawal dari business
  • Business berawal dari Customer
  • Organisasi disusun seputar itu
  • Learning Department akan terus memainkan peran penting untuk drive: Learning, Unlearning, relearning
  • Leader terus memainkan peran sebagai ROLE MODEL dalam menghidupi Values Perusahaan (EPICC)
  • Terus mengangkat harkat karyawan sebagai manusia dengan saling TRUST dan RESPECT satu sama lain

Selain peserta yang hadir offline, ada juga peserta lain yang mengikuti sharing ini secara online. Berikut foto peserta dan penyerahan kenangan dari CIMB Niaga:

 

Mengambil Langkah Nyata

Adalah kebiasaanku untuk menggugah peserta memikirkan langkah nyata mulai minggu berikutnya, setelah mendapatkan insight dari sesi hari itu. Berikut ada beberapa yang mereka sharing kepada teman-temannya:

  1. Mulai lebih mendelegasikan, sambil mengurangi terlalu banyak campur tangan dalam proses.
  2. Berhenti meragukan/kurang percaya bawahan
  3. Berhenti menanggapi dengan emosi
  4. Mulai lebih banyak mendengarkan
  5. Mulai membangun respect dan trust
  6. Mulai melakukan journalling, melakukan evaluasi setiap hari dengan mereview apa yang salah/benar di hari ini dan apa yang harus dipertahankan, agar bisa menjadi personal yang semakin baik setiap hari, better everyday namun tetap be my self

Butir-butir tersebut diatas nampak kecil, tapi memiliki arti penting bila itu merupakan komitmen atau janji yang dibuat oleh seorang karyawan untuk menjalankannya. Dan karena itu merupakan janji pada dirinya sendiri, maka kemungkinan terlaksana akan besar. Dampak dari itu adalah akan muncul rangkaian langkah lain, setelah yang bersangkutan melihat hasilnya.

Berikut foto sekilas suasana kelas, dan bersama mba Fullysa, salah satu penerima buku.

Dalam postingan IG nya, mba Fullysa sempat mengangkat sepenggal catatan di Kata Pengantar buku FUN at WORK, agar dalam membangun Budaya FUN di Perusahaan, hendaknya tidak saja engage the mind tapi juga engage the heart of employees. Karena itu Go ahead: work hard, but don’t forget to play hard and Have Fun!

Peringatan Dini Meredam Burn-out

Melangkah kedepan, tidak ada jaminan bahwa volume pekerjaan masing-masing akan berkurang, atau sebaliknya malah bertambah. Menarik bahwa jelang sesi berbagi hari itu, HBR membagi tulisan pada 11 September 2024 dengan judul: Confessions from 1,000 Workaholics. Pengakuan mereka sengaja saya angkat sebagai pengingat penting untuk semua peserta, bahwa bekerja secara sungguh-sungguh itu penting, namun perlu juga memperhatikan serta menjaga keseimbangan aspek kehidupan lainnya. Empat hal yang diakui 1.000 karyawan yang diwawancarai:

 

  1. I can’t disconnect from work
    Terkadang diawali dengan niat untuk tidak menunda pekerjaan. Kecenderungan mengecek email dari waktu ke waktu, siang atau malam, di saat akhir pekan, selagi liburan. Begitu ada yang perlu dia tindak lanjuti, langsung dikerjakan tanpa memikirkan waktu.
  2. I can’t stop thinking about work
    Di waktu luang, saat tidak ada yang dikerjakan, mereka cenderung memikirkan pekerjaan, buka laptop dan lain-lain. Ini membuat pikiran mereka seakan dipenuhi dengan berbagai hal tentang pekerjaan, di luar hari atau jam kerja. Kalau ini dibiarkan begitu saja, maka kita akan terjebak dalam kondisi terkungkung dengan pekerjaan, yang membuat diri kita tertutup dari dunia luar yang lebih luas.
  3. I put work ahead of loved ones
    Teknologi memang memudahkan. Kebiasan bekerja dari rumah memang membantu dan sekaligus menyenangkan. Namun kebanyakan kita juga mengalami bahwa disiplin mengatur waktu untuk wfh lebih sulit. Atau dengan kata lain, kalau sudah bekerja, kita lupa bahwa disekitar kita ada istri/suami dan anak-anak kita yang juga membutuhkan perhatian kita secara berimbang.
  4. I put work ahead of caring for myself
    Cerita seperti pada ketiga butir tersebut diatas, bila terjadi tanpa kita bisa mengendalikan diri, maka resiko lebih jauh adalah pada diri kita sendiri, pada kesehatan mental dan fisik kita. Ini pertanda kita benar-benar tidak memperhatikan pentingnya kesehatan diri guna menunjang perjalanan jangka panjang kedepan.

Ini sekedar mengingatkan para leaders dan timnya akan beban kerja yang semakin meningkat, namun perlu diimbangi juga dengan memperhatikan aspek kehidupan lainnya: kesehatan diri, keluarga, kehidupan masyarakat, kesempatan untuk pengembangan diri, dan lain-lain. (Source: HBR 11 September 2024: Confessions from 1,000 Workaholics (hbr.org))

 

Empat Butir Rangkuman

Saya sengaja menutup sesi hari itu, dengan memberikan empat butir rangkuman, yang bisa disimak di buku Memanusiakan Manusia, Seni Mengangkat Harkat Karyawan Sebagai Manusia.

Karyawan saat ini ataupun nanti, mereka adalah manusia yang ingin dihargai, diakui keberadaannya dan kemampuan serta prestasinya, juga ingin dicintai sebagai sesama anggota keluarga dalam perusahaan. Dan para pimpinan hendaknya menjadi Role Model dalam implementasi keseharian.

“No man will make a great leader who wants to do it all himself or get all the credit for doing it.” (Andrew Carnegie)

Bookmark and Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Connect with Facebook

Kisah Rp 10.000,00 yang Mengubah Hidupku

Recent Comments

josef:
Terima kasih sama-sama pa Lay Nehemya. Saya senang membersamai rekan-rekan HR yang mau belajar seperti timmu....

Lay Nehemya:
Terima kasih pak Joseph sudah menjadi inspirasi buat kami. Tim kami sangat berkesan dengan sharing...

josef:
Terima kasih Tromol. Persahabatan perlu terus dirawat, walau kita berjauhan. Pertemuan pendek bertiga saat itu...

Tromol:
Selamat sore Bapak Joseph, bahagia rasanya pertemuan yang lalu bisa menjadi bagian dari tulisan bapak dan...

josef:
Terima kasih Tromol. Utamanya adalah manusia. Mereka bijak memilih teknologi untuk mendukung mereka. Salam


Recent Post

  • Sukses Bila Ada Suksesi
  • Asah Kapasitasku Sebagai Coach
  • Tetap Sehat Bukan Kebetulan
  • Networking di Forum Akbar IHCBS 2025
  • Bersama Membangun Indonesia Tangguh
  • Tak Sulit Bagi Yang Punya Kemauan
  • Gairah Belajar Milenial Perhotelan
  • Menjadi Trainer Yang Berdampak
  • Kolaborasi Dilandasi TRUST dan RESPECT
  • Digitizing HUMAN or Humanizing Digital?