Posted on September 6th, 2024
“Servant leadership is all about making the goals clear and then rolling your sleeves up and doing whatever it takes to help people win. In that situation, they don’t work for you; you work for them.” (Ken Blanchard)
MELAYANI. Kata yang sering kita dengar. Tanggapan orangpun berbeda-beda. Ada yang merasa diri rendah kalau harus melayani. Namun kontras sekali dengan yang lain, yang justru melihatnya sebagai panggilan profesi atau bahkan panggilan hidup untuk melayani. Dan jujur, saya sangat suka dengan pernyataan yang disampaikan oleh pimpinan Alfamart, pak Hans Prawira: Melayani harus tulus dengan Hati dan Kepala dan Tangan. Kehadiran beliau untuk menyapa dan menyampaikan pesan di pembukaan acara ini merupakan sebuah bukti bahwa komitmennya sebagai pemimpin adalah sungguh-sungguh dan tulus untuk melayani dan sekaligus menjadi contoh. Tapi bagaimana membawa konsep itu dalam keseharian?
Mindset sekaligus Komitmen
Di berbagai moment saat saya mengajak peserta untuk mengubah mindset dilayani dan menggantikannya dengan mindset melayani, sederhananya saya visualisasikan seperti gambar di bawah ini.
Masih banyak yang beranggapan bahwa kalau di posisi paling rendah saya melayani atasan saya, maka semakin tinggi posisi saya dalam organisasi, saya mendapatkan kesempatan untuk dilayani banyak orang. Bila segitiga melayani yang sebelah kiri kita balik, maka posisi pimpinan justru ada dibawah yang melayani semua yang ada diatasnya, yaitu anak buahnya. Dan ini bukan saja tugas atau pekerjaan, tapi PANGGILAN.
Mengenali Mereka Yang Dilayani
Agar pelayanan kita tulus dan maksimal, kita perlu mengenal mereka yang dilayani. Kita mulai dengan lingkungan di dalam, anggota tim kita sendiri. Seberapa banyak saya mengenal mereka, tahu tentang apa yang memotivasi mereka, paham akan potensi diri masing-masing? Apakah mereka bisa dipercayai dan sebaliknya saya sebagai pemimpin juga dipercaya oleh mereka? Apakah timku dan karyawan lainnya saling menghargai satu sama lain? Berkaitan dengan dua hal terakhir ini: TRUST dan RESPECT, harus bisa diraih semua pihak, bukan diperoleh begitu saja. Sebagai pimpinanpun saya perlu meraih trust dan respect dari atasan, anak buah dan rekan kerja.
Semakin banyak kita luangkan waktu untuk bertemu dan dialog dengan anggota tim, semakin mereka merasakan ketulusan dalam berdialog. Yang perlu diperhatikan juga adalah pimpinan berada pada posisi untuk menciptakan suasana dimana tim merasa nyaman untuk speak-up, nyaman untuk bertanya, untuk memberi saran, untuk berbeda pendapat, atau bahkan untuk mengakui bahwa dia salah. Dengan demikian kehadiran kita saat bertemu atau berkunjung ke lapangan memberikan mereka peluang untuk juga semakin merasakan, betapa kehadiran atasannya memberikan nilai tambah dalam memberikan pelajaran tentang proses interaksi yang efektif, tentang peluang untuk menambah ilmu dan pengetahuan agar bisa tumbuh dan berkembang.
Be an Authentic Leader
Mengambil praktek yang biasa kami lakukan untuk turun ke lapangan, kami menyadari sepenuhnya bahwa tim di lapangan bisa saja melihat bahwa jarak antara saya sebagai seorang direktur dan mereka sebagai karyawan di ujung tombak sangat jauh. Dalam kondisi seperti ini saya sebagai pimpinan yang harus proaktif mempersempit jarak tersebut. Pertama-tama dan paling utama adalah dengan hadir sebagai diri sendiri: Be Authentic. Be genuine, Be Yourself. Dalam bukunya yang berjudul: Your first Leadership Job, Tacy M. Byham & Richard S. Wellins memberikan beberapa kriteria tentang authentic Leader, antara lain:
Dengan menampilkan diri apa adanya, mereka yang dilayani akan bisa merasakan ketulusan seorang pimpinan, dan pada saat bersamaan anda telah menjadi Role Model yang akan dicontoh banyak orang.
Komitmen Mengembangkan Talent Untuk Melayani
Seperti yang disampaikan oleh pa Hans di awal tulisan ini, kita perlu melayani dengan hati, dengan kepala dan dengan tangan. Dengan demikian diperlukan ketrampilan yang perlu diasah dari waktu ke waktu. Dan pimpinan berada pada posisi yang tepat untuk melihat talenta yang dibutuhkan, melihat ketrampilan apa yang perlu dipunyai oleh timnya sekarang dan di masa mendatang. John Maxwell secara tegas menggaris-bawahi komitmen untuk development anak buah artinya:
Tahun ini, mereka sengaja merancang program selama 2024 untuk mensosialisasikan dan implementasi ”Melayani dengan Hati”.
Belajar Bersama
Dipandu moderator Tasya, yang melemparkan pertanyaan2 menarik, juga memberikan kesempatan kepada peserta untuk bertanya. Beberapa pertanyaan yang saya sajikan disini, sudah dijawab dalam sesi, tapi bagus untuk bahan refleksi pembaca semua:
Saya sengaja membiarkan pertanyaan tersebut tanpa jawaban, kiranya bisa dicermati pembaca dan dibawakan dalam refleksi di lingkup kerja masing-masing.
Penutup
Tim di perusahaan ini terdiri dari ragam Generasi, tetapi kebanyakan dari Gen Z. Semuanya perlu terus membangun tim yang tangguh (Strong Collaborative Team) demi menghadapi situasi yang terus berubah cepat. Untuk itu, sebagai kata penutup saya memberikan tiga Pengingat bagi peserta sebagai berikut :
Saya sengaja mengangkat tiga butir pengingat tersebut untuk memberikan penekananan pada hal yang perlu diperhatikan, bila kita sungguh ingin MELAYANI DENGAN HATI.
“The goal of many leaders is to get people to think more highly of the leader. The goal of a great leader is to help people to think more highly of themselves.” (J. Carla Nortcutt)
josef:
Terima kasih mba Esra sudah berkenan mengunjungi blog, menyimak tulisan ini dan mencatatkan komennya. Sayapun...
Esra Manurung:
Pak Josef, Tulisan yang menginspirasi. Yes better everyday Senang bisa terhubung dalam komunitas...
josef:
Terima kasih mba Nuniek, lama tidak saling menyapa. Semoga terus sukses dan juga menginspirasi. Salam
Nuniek Tirta:
Selalu menginspirasi Pak Josef, sehat2 selalu ya Pak!
josef:
Terima kasih sama2 Puji. Keep learning and growing, keep shining! Salam